Jawaban Aristoteles Tentang Kunci kebahagiaan melalui pertanyaan “Apakah Tujuan Manusia?”

Etika Nikomacheia mulai dengan kalimat termasyhur; “setiap keterampilan dan ajaran, begitupula tindakan dan keputusan tampaknya mengejar salah satu nilai,” Apabila manusia melakukan sesuatu, ia selalu melakukan karena ada tujuannya, sebuah nilai. Apabila manusia mau mengatur kehidupannya secara nalar maka pertanyaan kunci bahagia adalah; Apakah tujuan manusia? Setiap tindakan yang mengarak ke pencapaian tujuan itu masuk akal. Itulah prinsip etika Aristoteles dan karena itu Aristoteles masuk akal. Hidupkita akan terarah apabila kita melakukannya sedemikian rupa hingga kita mencapai tujuan kita. Orang hidup dengan cara yang tidak sesuai tujuannya akan tercecer. Apapun yang dicapainya akhirnya tidak akan bermakna karena dirinya sendiri berantakan. Oleh karena itu, pertanyaan dasar agar manusia dapat mengatur kahidupannya adalah pertanyaan tentang tujuan manusia.

Semula pendekatan Aristoteles ini membingungkan. Kebesaran kita, dibesarkan dengan mengacu pada agama. Moralitas, yaitu ajaran tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik kita lakukan, didasarkan pada ajaran agama. Agama mengatakan “jangan mencuri”, maka jangan mencuri!” Agama mengatakan “jangan menipu”, maka kita tidak boleh menipu. Pendekatan Aristoteles adalah lain, meskipun dan itu penting, ia tidak menolak ajaran agama.  Kita malah akan melihat bahwa ajaran agamadapat dimengerti dengan lebih baik apabila kita memahami pertimbangan Aristoteles. Namun, yang menarik paa Aristoteles adalah bahwa ia tidak berspekulasi, tidak berandai-andai dan memang tidak mengandaikan ajaran apa pun, juga tidak ajaran agama. Ia justru mau menunjukan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir, dapat mengetahui bagaimana Ia seharusnya hidup. Aristoteles mendekati pertanyaan tentang tujuan manusia secara analitis, melalui langkah-langkah logis. Ia bertolak dari sebuah fakta; Fakta bahwa apapun yang dilakukan manusia selalu dilakukannya demi sebuah tujuan.

Kembali pada pertanyaan: Apakah tujuan manusia? Aristoteles melakukan pembedaan yang penting. Ada dua macam tujuan: Ada tujuan sementara dan ada tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut. Misalnya, orang mengikuti kuliah dengan tujuan lulus dan mendapatkan ijazah magister. Tetapi ijazah itu bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sekadar sarana, Misalnya untuk dapat memeroleh tempat kerja yang lebih memadai. Tempat kerja itu sendiri hanya tujuan sementara. Karena kalau kita bekerja, tentu kita punya tujuan. Bisa karena kita mencari nafkah hidup, bisa karena kita mau mengembangkan diri, atau karena kita mau memakainya sebagai batu loncatan untuk kedudukan yang lebih tinggi.

Tetapi, apakah ada suatu tujuan yang merupakan tujuan akhir, yang kita tidak cari demi tujuan yang lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri? Tujuan yang apabila tercapai kita betul-betul puas? Arostoteles bertolak darp pertanyaan ini.

Jawaban yang diberikan Aristoteles menjadi amat berarti dalam sejarah etika salanjutnya. Tujuan terakhir mestinya sesuatu yang kalau tercapai, manusia belum akan puas dan tetap masih mencari. Apa tujuan terakhir itu? Aristoteles menjawab: Kebahagiaan!!. Kalau seseorang sudah bahagia, tidak ada yang diinginkan selebihnya. Dan sebaliknya, selama ia belum bahagia, apa pun yang diperolehnya tetapi hidupnya tidak akan pernah puas. Atau dalam bahasa Aristoteles: Di satu pikah kebahagiaan selalu dicari demi dirinya sendiri, dan bukan demi sesuatu yang lain. Dan dipihak satunya, kebahagiaan mencukupi dirinya sendiri. Artinya, kalau kita sudah bahagia, tidak ada yang masih bisa ditambah.

Aristoteles adalah filosof pertama yang merumuskan dengan jelas bahwa kebahagiaan adalah apa yang dicari semua orang. Karena itu etikanya disebut “eudemonisme”, dari kata Yunani eudaimonia yang berarti Bahagia. Jawaban Aristoteles ini amat penting. Atas pertanyaan bagaimana manusia harus hidup, ia menjawab bahwa manusia harus menata kehidupannya sedemikian rupa hingga ia semakin bahagia. Dengan demikian, Aristoteles memberikan tolak ukur yang jelas, yang dapat mendasari semua petunjuk dan aturan etika. Jawaban Aristoteles sangat masuk akal karena jelaslah bahwa kebahagiaan merupakan tujuan terakhir manusia.

Agar kita dapat mencapai apa yang menjadi tujuan terakhir kita, kebahagiaan. Kita hendaknya hidup secara bermoral karena itulah jalan kebahagiaan. Itulah pesan inti Aristoteles. Tujuan moralitas adalah mengantar manusia ke tujuan terakhirnya, kebahagiaan. Apakah hidup yang kita jalani berhasil dapat diukur pada tingkat kebahagiaan yang kita capai di dalamnya.

Dalam hubungan ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, kebahagiaan sebagai akhir tujuan manusia tidak perlu dipertentangkan dengan tujuan akhir yang disebut oleh agama, seperti surga atau nirwana atau seperti kedekatan dengan Tuhan. Agama sendiri justru menegaskan bahwa tujuan akhir itu menghasilkan kebahagiaan. Orang yang masuk surga atau nirwana, atau dekat dengan Tuhan tentu bahagia. Maka kalau seorang percaya bahwa menjunjuk hormak kepada Tuhan merupakan tujuan terakhir manusia, hal itu tidak bertentangan dengan anggapan Aristoteles bahwa tujuan terakhir adalah kebahagiaan. Karena menurut agama, menghormati Tuhan dengan sendirinya merupakan puncak kebahagiaan bagi seorang manusia.

Kedua, kalau kebahagiaan merupakan tujuan akhir manusia, maka sekaligus menjadi jelas bahwa beberapa hal yang umumnya dianggap menjadi tujuan hidup tidak memadai. Aristoteles menyebutkan dua tujuan akhir yang salah: Uang dan Nama tersohor. Uang atau kekayaan tentu merupakan sarana untuk bisa bebas dari kekurangan dan untuk lebih menguasai hidupnya sendiri serta untuk dengan gampang memenuhi segala kerinduan. Kekayaan merupakan sarana semata-mata dan bukan tujuan pada dirinya sendiri. Hal nama tersohor adalah berbeda. Sepintas Nama tersohor kelihatan seperti tujuan pada dirinya sediri, atau sekurang-kurangnya, ada orang yang baginya nama besar adalah tujuan hidupnya, tetapi,  Aristoteles mengatakan bahwa mendapat nama tersohor merupakan suatu dalam pandangan orang lain.

Ketiga, perlu diperhatikan bahwa kebahagiaan tidak bisa langsung diusahakan. Kebahagiaan itu bukan sebuah sasaran yang langsung bisa kita bidik. Kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat “diberikan” daripada “direbut”. Kebahagiaan bisa kita terima apabila kita menjalani hidup yang menunjangnya. Hidup itulah yang bisa dan perlu kita usahakan, bukan kebahagiaan sendiri. Maalah bisa dikatakan orang yang bahwa segala-galanya ingin menjadi bahagia justru tidak pernah akan bahagia karena dia tidak mampu untuk mengusahakan kebaikan demi kebaikan itu sendiri.

No comments:

Post a Comment

Berikanlah komentar terhadap postingan ini tentang keritik atau saran. karena dengan itu kami berharap dapat memperbaiki postingan yang selanjutnya. oleh karena itu komentar anda akan sangat berarti bagi kami. Akhir kata semoga postingan ini bermanfaat bagi anda khususnya, dan umumnya bagi semua orang.

Mohon maaf dari segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam penulisan ini, karena admin adalah seseorang yang masih jauh dari hakikat kebenaran yang sebenarnya.

Kalam Tuan syaikh Abdul Qodir Bagian Awal Tentang I'tirod

 قال سيدنا الشيخ محي الدين ابو محمد عبد القدير رضي الله عنه بكرة يوم الأحد بالرباط ثالث الشوال سنة خمس وأربعين وخمسمائة،  Sayidina syaikh ab...