A.
Pengertian
Fa’il.
Fa’il
berasal dari kata fa’ala yang artinya secara etimologi adalah yang melakukan
perbuatan. Dan menurut terminologi adalah isim marfu yang terletak setelah
fi’il ma’lum atau yang semakna dengan fi’il ma’lum dan isim ini menunjukan
dialah yang melakukan perbuatan atau yang mensifatinya (Zakaria, 2009:1).
Sungguh para ulama sangat banyak sekali di dalam memberikan pengertian fa’il,
akan tetapi pengertian-pengertian itu menunjukan batasan yang sama yakni
berbeda lapas tetapi maknanya satu. Diantaranya apa yang dikatakan oleh syaikh
al Gulayain : fa’il adalah isim yang dirofakan yang terletak setelah fi’il
ma’lum atau didahului oleh apa-apa yang semakna dengan fi’il ma’lum. Dan yang
dimaksud dengan didahului oleh apa-apa yang semakna dengan fi’il ma’lum adalah
isim fa’il, mashdar, isim tafdil, shifat musyabbahat, mubalagoh isim fa’il dan
isim fi’il maka semua ini bisa merofakan fa’il sebagaimana fi’il ma’lum (al
Gulayain, 2005:334).
Dari
pengertian diatas, dapat difahami tidaklah disebut fa’il jika tidak terletak
setelah amil-amilnya dan tidaklah disebut fa’il jika tidak menunjukan sesuatu
yang melakukan perbuatan atau mensifati perbuatan tersebut. Berkata Doktor
Abdulloh Bin Abdil Muhsin at Turki : fa’il adalah isim yang menunjukan pelaku
dari suatu perbuatan, dan keadaan fa’il marfu. Keadaan fa’il marfu dengan
dhommah jika fa’il berupa isim mufrod, jika fa’il berupa jamak mu’annats salim,
jika fa’il berupa jamak taksir, jika fa’il berupa isim goir munsorif. Keadaan
fa’il marfu tanda rofanya dengan huruf alif, jika fa’il berupa isim mutsanna.
Keadaan fa’il marfu tanda rofanya dengan huruf wawu, jika fa’il berupa jamak
muzakar salim, jika fa’il berupa isim-isim lima. Keadaan fa’il marfu dengan
dommah muqoddaroh jika fa’il berupa isim manqush, jika fa’il berupa isim
maqshur (Abdulloh, 2013:205; Zakaria, 2009:13). Tanda rofa ini berlaku apabila
fa’il berupa isim yang nampak maka tanda i’robnya pun jelas nampak terlihat,
adapun apabila fa’il berupa isim mabni seperti isim domir, isim isyaroh dan
lain-lain maka tanda rofanya pun tetap mabni dan tanda i’robnya adalah i’rob
mahalli/menempati (al Gulayain, 2005:22-23).
1.
Ketentuan
– Ketentuan Fa’il.
Fa’il memiliki ketentuan-ketentuan
Sebagai berikut :
1.
Fa’il
harus selalu marfu.
-
Adakalanya
fa’il dikasrohkan secara ucapan yaitu dengan jalan fa’il di-idofatkan kepada
mashdar, jika mashdar sedang di-idofatkan kepada fa’ilnya, maka fa’il mashdar
tersebut ucapannya adalah kasroh, sedangkan mahalnya adalah rofa. Dalam keadaan
demikian maka jika fa’ilnya tersebut di-ikuti oleh salah satu tawabi ( na’at,
athof, taukid dan badal ) maka tabi’ tersebut bisa mengikuti lafaz fa’il, yakni
kasroh dan bisa pula mengikuti mahalnya yakni rofa.
-
Apabila
fa’il terletak setelah huruf jar ba tambahan, yakni hur jar ba tersebut secara
i’rob dapat merubah fa’il yang tadinya rofa menjadi kasroh, akan tetapi secara
makna maka huruf jar ba tersebur tidak memiliki arti.
-
Apabila
fa’il terletak setelah huruf jar min tambahan, yakni huruf jar min tersebut
secara i’rob dapat merubah fa’il yang tadinya rofa menjadi kasroh, akan tetapi
secara makna maka huruf jar min tersebut tidak memiliki arti/tidak diartikan.
-
Apabila
fa’il terletak setelah huruf jar lam, yakni huruf jar lam tersebut secara i’rob
dapat merubah fa’il yang tadinya rofa menjadi kasroh, akan tetapi secara makna
maka huruf jar lam tersebut tidak memiliki arti/tidak diartikan.
2.
Fa’il
harus selalu didahului oleh fi’il ma’lum. Jika fa’il dikedepankan secara makna
maka fa’il tersebut berupa domir mustatir yang kembali kepadanya. Yakni fa’il
harus selalu berada setelah amil yang merofakannya ( fi’il atau sebangsanya )
tidak boleh fa’il didahulukan atas amilnya. Kemudian apabila fa’il itu
zohir/nampak, maka fa’ilnya zohir/nampak dan kalau tidak zohir/nampak, maka
namanya fa’il domir yang tertutup.
3.
Fa’il
selalu ada dalam kalimat tetapi adakalanya fi’ilnya dibuang karena ada qorenah
tertentu. Yakni fa’il boleh dibuang fi’ilnya, jika fi’il tersebut bisa
diketahui ada qorenah yang menunjukan kepadanya. Bahkan kadang-kadang terjadi
bahwa membuang fi’il itu wajib seperti jika ada isim yang dirofakan setelah “ إن “ / “ إذا “.
4.
Bila
fa’il-nya mutsanna atau jamak, maka fi’il harus tetap dalam keadaan tunggal.
Yakni jika fa’il terdiri dari isim zohir/nampak, maka menurut kebanyakan orang
Arab, fi’il yang disandarkan kepada fa’il zohir tersebut harus dikosongkan dari
tanda-tanda yang menunjukan kepada tasniyah atau jamak, jadi fi’il tersebut
harus selalu berbentuk mufrod/tunggal walaupun fa’ilnya terdiri dari tasniyah /
jamak.
5.
Pada
dasarnya dalam masalah fa’il itu harus bersambung dengan fi’il sedangkan
asalnya dalam masalah maf’ul selalu harus terpisah dari fi’il. Tetapi
kadang-kadang terjadi tidak sesuai dengan asalnya dan kadang-kadang terjadi
maf’ul bih/objek datang sebelum fi’il. Yakni pada asalnya fi’il itu harus
menyandingi fi’il, tidak terpisah dengan kalimat lain, karena fa’il itu
dianggap satu juz dari pada fi’il sehingga akhirnya fi’il madhi suka
disukunkan, jika disandingi oleh dhomir rofa mutaharik, seperti : ضربت . Sedangkan hal tersebut dilakukan karena
dianggap tidak baik menyebutkan empat huruf yang berharkat secara terus menerus
di dalam satu kata.
Dengan demikian maka hal itu bahwa
fi’il dan fa’ilnya dianggap satu kalimat. Sedangkan asal bagi maf’ul bih/objek
adalah harus terpisah dari fi’il dengan jalan harus berada setelah fa’il,
tetapi prinsip tadi kadang-kadang boleh disalahi dengan jalan mendahulukan
maf’ul bih atas fa’ilnya, bahkan kadang-kadang maf’ul bih berada sebelum fi’il.
Bahkan dalam keadaan tertentu kadang-kadang mendahulukan maf’ul bih/objek itu
wajib seperti, jika maf’ul bih terdiri dari kata yang harus didahulukan,
seperti isim isyaroh, isim istifham dsb.
6.
Apabila
fa’il berupa isim muannats maka fi’ilnya mesti di-muannatskan dengan ta ta’nis
sakinah pada akhir fi’il madhi atau ta mudoro’ah pada awal fi’il mudhori. Yakni
jika fi’il madhi disandarkan kepada fa’il yang terdiri dari jamak selain
muzakar salim ( yakni jamak taksir, jamak muannats salim atau isim jamak ),
baik untuk laki-laki ataupun untuk perempuan, maka fi’il madhi tersebut boleh
memakai ta ta’nis dan boleh juga tidak memakainya, sama seperti ketika fi’il
madhi menghadapi fa’il muannats majazi. Adapun jika fa’ilnya terdiri dari jamak
muzakar salim maka fi’il madhi tidak boleh dimasuki ta ta’nis.
7.
Membuang
ta pada semacam “ نعم الفتاة “ telah dianggap baik oleh para ulama, karena bermaksud menuju
jenis pada hal tersebut adalah sudah jelas. Yakni jika fi’il madhi disandarkan
kepada fa’il zohir yang terdiri dari muannats hakiki ataupun muannats majazi,
tetapi kata muannats tersebut dimaksudkan jenisnya, bukan dimaksudkan
satuannya. Maka membuang ta ta’nis dari fi’il tersebut adalah baik, tetapi
memakai ta ta’nis lebih baik. Suatu kata dimaksudkan jenisnya, jika :
-
Menjadi
fa’il dari pada : نِعْمَ dan kawan-kawannya ( setiap f’il yang digunakan untuk memuji
dan mencela ).
-
Jika
fa’il muannats tersebut dimasuki : “ ال للجنس “ (al Gulayain,
2005:334-339; Ibnu Malik, 1995:56-65).
2.
Jenis-Jenis
Fa’il.
Fa’il memiliki tiga jenis :
(1)
Fa’il
zohir adalah fa’il yang terdiri dari isim zohir.
(2) Fa’il domir adalah fa’il yang terdiri dari isim domir baik dhomir
muttashil, dhomir munfashil, dan dhomir mustatir. Dhomir mustatir terbagi
menjadi dua (a) dhomir mustatir jawaz, (b) dhomir mustatir wajib. Keadaan fa’il
berupa dhomir mustatir wajib berada pada enam tempat:
a.
pada
setiap fi’il mudori yang disandarkan kepada dhomir mutakalim, secara mufrod
atau jamak.
b.
pada
setiap fi’il amar yang disandarkan kepada satu dhomir mukhotob.
c.
pada
setiap isim fi’il yang disandarkan kepada dhomir mutakalim, atau mukhotob.
d.
pada
setiap fi’il ta’ajub yang mengikuti wazan “ما
أفعل “ .
e.
pada
setiap fi’il-fi’il istisna, seperti : “خلا
وعدا وحاشا وليس ولا يكون “.
f.
mashdar
yang dijadikan sebagai fi’il.
Keadaan fa’il berupa isim dhomir mustatir jawaz. Yakni pada setiap
fi’il yang disandarkan kepada satu ghoib dan goibah. Pengertian dhomir mustatir
wajib bahwasannya dhomir tidak sah menempati tempat isim zohir. Maka tidaklah
dirofakan kecuali dhomir mustatir. Dan pengertian dhomir mustatir jawaz
bahwasannya dhomir boleh dijadikan tempat isim zohir. Maka dia kadang-kadang
merofakan dhomir mustatir dan kadang-kadang pula merofakan isim zohir.
(3) Fa’il muawwal adalah hendaklah fi’il itu ada tertulis di dalam
jumlah, tetapi fa’ilnya berupa mashdar yang dapat difahami berasal dari fi’il
yang kedua setelah fi’il yang pertama, dan fi’il yang kedua tadi ditakwilkan ke dalam bentuk mashdar setelah
terlebih dahulu didahului oleh lima macam huruf, huruf-huruf itu adalah “أن وأنّ وكي وما ولو المصدريتين “ (al Gulayain,
2005:342-343).
B.
Fungsi
dan Peran.
Ada tiga cara
untuk menganalisis klausa secara sintaksis.
Pertama
ada, “ Fungsi-Fungsi “ di dalam klausa, ada “ Peran-Perannya “, ada “
Kategori-Kategorinya “. Yang disebut “ Fungsi “ sintaksis di sini tidak asing
lagi. Kita sudah terlatih mencari “ subjek “ dan “ predikat “ dan “ objek “
kalimat. Yang dipelajari dahulu adalah benar pada dasarnya, tetapi dasar itu
sendiri kiranya perlu diteliti lebih mendalam. Sebelum dibahas ihwal
unsur-unsur fungsional klausa, perlu dijelaskan terlebih dahulu ihwal klausa,
persamaan dan perbedaannya dengan frase atau kalimat. Frase, klausa, dan
kalimat sama-sama sebagai satuan gramatikal yang dibentuk oleh dua kata atau
lebih.
Dilihat
dari segi kontruksinya, klausa mengandung predikasi (hanya satu predikat),
sedangkan frase tidak. Relasi antar konstituen dalam klausa adalah predikatif
(Elson & Pickett, 1967:64-65; Matthews, 1981:172), yakni memiliki struktur
subjek (S) dan predikat (P), baik disertai objek (O), pelengkap (Pel), dan
keterangan (Ket) maupun tidak (Ramlan, 1987:87). Klausa dibedakan dari kalimat
berdasarkan ada tidaknya intonasi (Cook, 1970:39-40). Kalimat adalah satuan
gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir
turun atau naik (Ramlan, 1987:27). Kombinasi jeda panjang dengan nada akhir
turun atau naik itulah yang dimaksud dengan intonasi. Batasan itu sejalan
dengan pandangan Alwi et al. (1993:40-41) yang menyebutkan bahwa klausa dan
kalimat pada deretan kata yang dapat memiliki subjek dan predikat. Perbedaannya
kalimat telah memiliki intonasi atau tanda baca yang tertentu, sedangkan klausa
tidak. Kajian ini berkaitan dengan satuan gramatikal yang berupa klausa.
Sebagai satuan gramatikal, klausa dapat dianalisis berdasarkan (1) fungsi
unsur-unsurnya, (2) kategori unsur-unsurnya, (3) peran unsur-unsurnya (Ramlan,
1987:90).
1.
Fungsi,
Kategori, dan Peran.
Istilah “fungsi” yang digunakan dalam
kajian ini mengacu kepada apa yang disebut oleh Pike & Pike (1977) sebagai
slot, yaitu salah satu dari empat ciri sebuah tagmem, ciri tagmem yang lainnya
ialah kelas (class), peran (role), dan kohesi (cohesiaon). Istilah fungsi
(Elson & Pickett, 1962:57; Cook, 1970:15; Verhaar, 1982:124) disebut juga
fungsi sintaksis (Dik, 1981:13; Kridalaksana, 1990:42) atau unsur fungsional
(Ramlan, 1987:90), yakni “a position in a construction frame” (Cook, 1970:15).
Fungsi boleh dibayangkan sebagai “tempat kosong” yang diisi oleh kategori (atau
kelas) dan peran. Fungsi bersifat relasional, artinya fungsi yang satu tidak
dapat dibayangkan tanpa dihubungkan dengan fungsi yang lainnya. Oleh karena
itu, hubungan antar fungsi itu bersifat struktural karena fungsi semata-semata
hanya sekedar kerangka organisasi sintaksi yang formal (Verhaar, 1982:70-82).
Di dalam klausa, unsur fungsional itu dapat berupa subjek, predikat, objek,
pelengkap, dan keterangan (Ramlan, 1987:90-97).
Unsur
fungsional biasanya diisi oleh kategori atau kelas. Unsur kategorial merupakan
tataran kedua yang tingkat keabstrakannya lebih rendah dari pada fungsi
(Verhaar, 1982:83-87). Unsur kategorial di sini adalah kategori sintaksis,
yakni klasifikasi satuan-satuan gramatikal berdasarkan bentuk sifat, serta
perilakunya dalam sebuah kontruksi (Alwi, et al., 1993:36-37). Kategori sintaksis
pada tataran kata lazim disebut kelas kata atau jenis kata. Di samping berupa
kata, kategori sintaksis bisa berupa frase dan klausa. Kategori frase dan
klausa lazim didasarkan pada kategori kata (O’Grady et al., 1989:237). Frase
memilki tipe dan kategori tertentu. Di samping diisi oleh kategori, unsur
fungsional diisi oleh unsur semantis atau peran semantis. Unsur semantis
mengacu pada istilah makna atau peran (Verhaar, 1982:88-93). Yakni tataran
ketiga dan terendah tingkat keabstrakannya di dalam sintaksis, jika
dibandingkan dengan fungsi maupun kategori. Peran bersifat relasional, artinya
peran yang satu hanya ditemukan jika dihubungakan dengan peran yang lain.
Peran
semantis yang disebut juga fungsi semantis (Dik, 1981:13) merupakan peran yang
dipegang oleh suatu kata atau frase dalam sebuah klausa atau kalimat (Alwi et
al., 1993:40). Unsur fungsional klausa berupa ruas atau posisi dalam suatu
konstruksi, yang diisi oleh kategori dari segi bentuk dan peran dari segi
makna. Klausa itu sendiri merupakan pemadu kalimat yang bersifat predikatif,
yakni terdiri atas unsur fungsional subjek dan predikat, baik disertai objek,
pelengkap, dan keterangan maupun tidak. Pada uraian di atas beberapa kali
disinggung ihwal unsur fungsional klausa yang berupa subjek, predikat, objek,
pelengkap, dan keterangan. Kehadiran objek, pelengkap, dan keterangan sangat
bergantung pada bentuk dan jenis predikat. Dengan kata lain, unsur pendamping
(argumen) di sebelah kanan merupakan konstituen yang berfungsi melengkapi verba
predikat. Oleh karena itu, konstituen pendamping kanan itu (O, Pel, dan Ket)
disebut juga konstituen pemerlengkapan. Predikat bersama pemerlengkapannya
membuat predikasi terhadap subjek (Alwi et al., 1993:364). Menurut Chafe
(1970:96), di dalam struktur semantis, verba (sebagai predikat) merupakan
konstituen sentral, sedangkan nomina (sebagai subjek, objek, dan pelengkap)
sebagai konstituen periferial. Artinya, verba (sebagai predikat) menentukan
kehadiran nomina. Di dalam tata bahasa fungsional, subjek, objek, (langsung dan
tidak langsung), dan pelengkap merupakan pendamping (argumen), yang
bersama-sama predikat sebagai satuan (term) merupakan predikasi inti (nuclear
predication). Keterangan yang disebut satelit (satellite) juga merupakan
satuan, yang bersama-sama merupakan predikasi membentuk predikasi luasan
(extended predication) (Dik, 1981:25-26).
Dilihat
dari segi semantik, predikat memliki fungsi semantis atau peran yang berupa
tindakan (action), proses (proccess), keadaan (state), dan posisi (position) (Dik,
1981:36-39). Dilihat dari ketegori sintaksisnya, predikat dalam klausa (atau
kalimat tunggal) dapat dibedakan atas (a) predikat verbal dan (b) predikat
non-verbal (Tarigan, 1985:75-84). Predikat non-verbal mencakupi beberapa jenis,
yakni (a) predikat adjektival, (b) predikat nominal, (c) predikat numeral (Alwi
et al., 1993:380-398). Di samping itu dikenal pula adanya (d) predikat
preposisional atau depan (Ramlan, 1987:141; Sudaryat, 1991:84-90), dan (e)
predikat keterangan atau adverbial (Prawirasumantri et al., 1987:141-154)
istilah predikat keterangan dapat dimasukan sebagai predikat nominal, karena
kata keterangan (adverbia waktu) dapat digolongkan sebagai subkelas nomina
(Kridalaksana, 1990:68). Predikat verbal dapat pula dibedakan berdasarkan dua hal
yakni, :
(a)
Hubungan
aktor-aksi, yang melahirkan klausa: aktif, pasif, medial, resiprokal;
(b)
Jumlah
pendamping, yang menghasilkan klausa: intransitif, monmotransitif, bitransitif,
dan semitransitif.
2.
Fa’il/Subjek.
Di
dalam kajian sintaksis, subjek sering dibatasi dari empat konsep, yakni (1)
konsep gramatikal, (2) konsep kategorial, (3) konsep semantis, dan (4) konsep
pragmatis. Batasan tradisional mengenai istilah subjek, yaitu “tentang apa yang
diperkatakan” (Chafe, 1976:43), merupakan sorotan subjek dari segi semantis,
sedangkan pengidentikan subjek dengan nomina oleh kebanyakan tata bahasawan
(Hollander, 1893; Lyons, 1968; Alisjahbana, 1976) atau pengidentikan subjek
dengan frase nomina (Comsky, 1953; Quirk, et al., 1987), merupakan sorotan
subjek dari segi kategorial, serta pemakaian istilah topik (Hockett, 1958:301)
meruapakan sorotan subjek dari segi pragmatis atau organisasi penyajian
informasi. Dari segi pragmatis, gramatikal, dan semantis muncul istilah subjek
psikologis, subjek gramatikal, dan subjek logis (Halliday, 1985:35).
Pengertian
ketiga macam subjek itu mengacaukan pengertian subjek. Oleh karena itu,
Halliday (1988:35) menggunakan istilah subjek untuk subjek gramatikal,
sedangkan untuk subjek psikologis digunakan istilah tema (theme) dan untuk
istilah subjek logis digunakan istilah pelaku (actor). Pike & Pike (1977)
dan Verhaar (1982) membedakan subjek dan pelaku dalam dua tataran analisis yang
berbeda, yakni subjek berada tataran fungsi gramatikal, sedangkan pelaku berada
dalam tataran peran (role). Subjek, pelaku, dan tema, menurut Dik (1983:13),
masing-masing berada pada tataran fungsi sintaksis, fungsi semantis, fungsi
pragmatis. Dilihat dari posisinya, subjek menempati posisi paling kiri dalam kalimat
dasar yang bertipe SPO (Keenan, 1976:319).
Di
samping itu subjek dapat pula menempati posisi kanan predikat, jika berada
dalam kalimat yang mempunyai (i) struktur pasif, (ii) striktur inversi, dan
(iii) predikat verba eksistif atau ada (Sugono, 1995:35). Subjek dapat berupa
(i) kata, (ii) frase, dan (iii) klausa. Subjek (I) dan (ii) oleh kebanyakan
tata bahasawan (Comsky, 1965:69; Lyons, 1968; Keenan, 1976; Pike & Pike,
1977) dikategorikan sebagai frase nominal (FN) dan subjek (iii) sebagai klausa
nominal (Quirk, 1985:724). Di dalam bahasa Indonesia pengisi fungsi subjek
tidak hanya berupa nomina, tetapi dapat juga berupa verba atau adjektiva
(Sugono, 1995:43). Dilihat dari segi semantis, subjek dapat memiliki peran
semantis tertentu. Chafe (1970:96) bahwa dalam struktur semantis, verba
berfungsi sebagai sentral dan nomina sebagai periferal. Verba sebagai predikat
menentukan kehadiran nomina, misalnya, sebagai pelaku (agent), pengalami
(experiencer), petanggap (patient), pemanfaat (recifient), alat (instrument),
pelengkap (complement), dan tempat (location). Fillmore (1971) menyebut patient
dengan istilah goal dan object. Ada sembilan kasus yang disebut oleh Fillmore,
yakni pelaku, alat, pengalami, objek, tempat, asal (source), sasaran, waktu,
dan pemanfaat. Ramlan (1987:135) menyebut sepuluh peran semantis subjek, yakni
pelaku, alat, sebab, penderita, hasil, tempat, penerima, pengalam, dikenal, dan
terjumlah. Menurut Dik (1983) terdapat sebelas peran semantis subjek, yakni (i)
pelaku, (ii) sasaran (goal), (iii) pemanfaat, (iV) prosseced, (V) positioner,
(Vi) force, (Vii) alat, (Viii) item, (iX) tempuhan, (X) tempat, (Xi) waktu
(Sugono, 1991:36).
Terima kasih atas Infomarsinya.. Ini sangat berguna sekali.. Boleh tau sumbernya dapat dari mana?
ReplyDeleteTerimakasih ilmunya mas
ReplyDelete