Komponen-komponen Pondok Pesantren


A.Pondok/asrama
Sebuah pondok pada dasarnya adalah sebuah tempat  pendidikan Islam tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan “kiyai”.
Ada tiga alasan, mengapa pesantren harus menyediakan asrama kepada para santri:

  1. Kemasyhuran kiyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari tempat-tempat jauh untuk berdatangan. Untuk dapat menggali ilmu dari kiyai tersebut secara teratur dalam waktu yang lama.
  2. Hampir semua pesantren berada di desa-desa. Di desa tidak terdapat model kos-kosan seperti di kota-kota Indonesia pada umumnya dan juga tidak tersedia perumahan yang cukup untuk menampung santri-santri.
  3. Ada sikap timbal balik antar santri dan kiyai, di mana santrinya menganggap kiyai sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kiyai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang senantiasa dilindungi (Zamakhsyari Dhofir, 2011:83).   

Pondok merupakan unsur penting karena fungsinya sebagai tempat tinggal atau asrama santri, sekaligus untuk membedakan apakah lembaga tersebut layak dinamakan pesantren atau tidak. Mengingat, terkadang sebuah masjid atau bahkan mushollah, setiap saat ramai dikunjungi oleh kalangan mereka yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama, akan tetapi tempat tersebut tidak dikenal sebagai pesantren lantaran tidak memiliki bangunan pondok atau asrama santri (Ahamad Muthohar AR, 2007:30).

B.Masjid
Dalam sistem pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki, karena ia merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih santri, khususnya dalam melaksanakan tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kegiatan masyarakat (Ahamad Muthohar AR, 2007:30).
Masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari pendidikan Islam tradisional. Para kiyai pada umumnya selalu mengajar santrinya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para santri dalam mengerjakan kewajiban agama (Zamakhsyari Dhofir, 2011:85).

C.Pengajaran Kitab Klasik
Pada masa lalu, pengajaran kitab Islam klasik, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham syafi’i, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utamanya ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Sedangkan para santri yang tinggal di pesantren untuk jangka waktu pendek dan tidak bercita-cita menjadi ulama, bertujuan untuk mencari pengalaman dan pendalaman perasaan keagamaan (Zamakhsyari Dhofir, 2011:86).

Materi pelajaran pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber kepada kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara lain: tauhid, tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqh, tasawuf, bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah dan tajwid), mantiq dan akhlak (Ahamad Muthohar AR, 2007:24).
d.Kiyai

Dalam bahasa jawa, kata kiyai bisa dipakai untuk tiga gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, misalnya “kiyai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat untuk orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islamyang memiliki pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya (Tim LPP-SDM, 2010:81).

Kiyai adalah tokoh karismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin dan pemilik pesantren. Dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren, kiyai merupakan figur sentral yang memiliki otoritas untuk merencanakan, mengendalikan seluruh pelaksanaan pendidikan (Ahamad Muthohar AR, 2007:32).

Kiyai merupakan elemen penting dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Maka seorang kiyai memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tradisi pesantren. Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kiyai dapat menyelesaikan masalah keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin dikagumi.

Seorang kiyai diharapkan dapat menunjukan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang yang datang meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga diharapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah status sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan keagamaan, seperti memimpin shalat lima waktu, memberikan khutbah Jum’at dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain (Zamakhsyari Dhofir, 2011:99).

E.Santri       
Santri termasuk salah satu komponen penting dari beberapa komponen pesantren. Kata santri mendsari kata pesantren. Ada perbedaan mengenai istilah santri, bahwa kata santri berasal dari kata “sant” dan “tra”. “Sant” berarti manusia baik dan “tra” berarti suka menolong. Sehingga kata pesantren yang merupakan kata jadinya berarti tempat pendidikan manusia baik-baik (Tim LPP-SDM, 2010:141).

Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolak ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Akan tetapi tingkat pencapaian prestasi siswa dalam sistem tradisional diukur dengan totalitas siswa sebagai pribadi, perilaku dan moral. Kesalehannya dipandang sama atau sebenarnya lebih tinggi dalam mementingkan pencapaian kemanfaatan dalam bidang lainnya (Ahamad Muthohar AR, 2007:34). Adanya diskrepansi yang ditunjukan para santri bila dibandingkan dengan komunitas luar, baik yang menyangkut pakaian, kesehatan maupun tingkah laku.

Perlu diketahui bahwa, menurut tradisi pesantren, santri terdiri dari dua bagian, yaitu:

  1. Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantern tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. 
  2. Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajaran dipesantren, mereka bolak-balik kerumahnya sendiri. 

Seorang santri pergi dan menetap disuatu pesantren karena berbagai alasan:

  • Ia ingin mempelajaari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam dibawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren.
  • Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorgarnisasian, maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal.
  • Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di sebuah pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumah, maka ia tidak mudah pulang-pergi mekipun kadang-kadang menginginkannya  (Zamakhsyari Dhofier, 2011:88-89). 

Santri dapat berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, setelah santri merasa cukup lama di satu pesantren. Biasanya perpindahan ini dimaksudkan untuk menambah dan memperdalam ilmu yang menjadi keahlian dari kiyai yang didatanginya. Pada pesantren yang masih tergolong shalaf  atau tradisional, lamanya santri bermukim di pondok tersebut bukan ditentukan oleh ukuran tahun atau kelas, tetapi diukur dari kitab yang telah dibaca dan dikhatamkan. Semakin tinggi tingkatan kitab tarsebut, maka semakin sulit juga memahami isinya. Oleh karena itu, setiap santri yang mempelajari kitab-kitab dengan tingkat tinggi, maka ia harus menguasai terlebih dahulu kitab-kitab yang tergolong dasar dan menengah (Tim LPP-SDM, 2010:145).

Selain itu, kebanyakan Pesantren saat ini, menjadikan santri lebih inovatif dalam menjalani kehidupannya di Pesantren. Hal ini digambarkan dengan proses pendewasaan santri yang saat ini diberikan keleluasaan dalam mengelola kegiatannya sendiri dengan mendirikan suatu organisasi santri. Dibuatnya organisasi santri diharapkan bisa meringankan tanggung jawab pimpinan Pesantren dan mengembangkan bakat serta pengkaderan santri dalam berorganisasi.

Keberadaan dan peran organisasi santri berbeda-beda pada setiap Pesantren yang satu dengan Pesantren lainnya. Diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mastuhu (1989) di Pesantren Sukorejo bahwa organisasi santri merupakan organisasi yang dibuat untuk membantu pimpinan Pesantren dalam melaksankan kegiatan pokok Pesantren dan mengurus santri. Organisasi ini dikelola sepenuhnya oleh para santri yang ditunjuk langsung oleh pimpinan Pesantren. Pimpinan dari organisasi santri di Sukorejo di sebut lurah pondok, sedangkan pejabat-pejabat lainnya adalah pengurus santri serta bagi setiap asrama dipimpin oleh lurah kamar. Sehubungan dengan ini, maka keberadaan dan peran mereka tidak hanya mengurus santri dalam bidang manajerial tetapi mereka ikut andil dalam memberi bimbingan serta membantu kiyai dalam menjaga nilai kebenaran absolut dan pengamalan nilai agama dengan kebenaran relatif.

Maka dengan demikian, santri semakin merasakan bahwa dalam mengarungi kehidupan di zaman pembangunan ini manusia memerlukan dua kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan moral, intelektual dan mental spiritual sebagai dasar dan pedoman hidup dan kemampuan keterampilan atau keahlian sebagai bekal di masyarakat kelak setelah mereka keluar dari suatu Pesantren.

No comments:

Post a Comment

Berikanlah komentar terhadap postingan ini tentang keritik atau saran. karena dengan itu kami berharap dapat memperbaiki postingan yang selanjutnya. oleh karena itu komentar anda akan sangat berarti bagi kami. Akhir kata semoga postingan ini bermanfaat bagi anda khususnya, dan umumnya bagi semua orang.

Mohon maaf dari segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam penulisan ini, karena admin adalah seseorang yang masih jauh dari hakikat kebenaran yang sebenarnya.

Kalam Tuan syaikh Abdul Qodir Bagian Awal Tentang I'tirod

 قال سيدنا الشيخ محي الدين ابو محمد عبد القدير رضي الله عنه بكرة يوم الأحد بالرباط ثالث الشوال سنة خمس وأربعين وخمسمائة،  Sayidina syaikh ab...