1.
Pengertian
Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut ‘eugemonia’, diterapkan untuk
menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh Negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual. Titik awal konsep Gramsci tentang
hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan
terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi ( Simon
2004:19-20).
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat
melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui penindasan terhadap kelas sosial
lainnya. Karena itu, hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang
agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan.
Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau
kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya (Bellamy,
1987:185).
2.
Konsep Teori Hegemoni
Gramsci
Pendekatan hegemoni memberikan sumbangan yang sangat
berarti bagi perkembangan sosiologi sastra. Pendekatan hegemoni (Sugiono, 1999:
31-34) dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak
mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Pentingnya ide
dalam kontrol sosial politik itu artinya, agar yang dikuasai mematuhi penguasa,
yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi
nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi
persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan
“hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”. Di pihak
lain penggunaan kekuatan hanyalah salah satu dari berbagai macam bentuk
kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat kompromi kelompok
yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa.
Hegemoni berkembang dengan cara meyakinkan
kelompok-kelompok sosial yang subordinat agar menerima sistem kultural dan
nilai-nilai etik yang dihargai oleh kelompok-kelompok yang berkuasa,
seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan melekat dalam
kehidupan manusia. Hal ini, menjelaskan bahwa kelas-kelas dominan hanya dapat
menegaskan otoritasnya dengan cara menyakinkan jika kelas tersebut bisa
memproyeksikan pandangan hidupnya ke dalam tatanan sosial dan membuat pandangan
hidup tersebut muncul sebagai acuan bersama sebagai common sense (Cavallaro, 2004:141).
Ada empat hal yang patut di catat dari teori Gramsci
dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di
dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak
hanya antarkelas, tetapi konflik antarkelompok dengan kepentingan-kepentingan
yang bersifat global untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap
masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial, harus menyadari keberadaan
dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa
untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan umum.
Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas dan mengembangkan interest-nya dengan
kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern.
Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah
negosiasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus semua kelompok. Keempat,
Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni
diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa
ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan.
Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemoni
(hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui
anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan
atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum
sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini, berarti bahwa seniman atau
sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasikan ideologi, tidak
hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan
seniman dan institusi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial
historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002:23-24).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa karya
sastra yang notabene salah satu
bentuk karya seni, bagian integral kebudayaan, merupakan suatu situs hegemoni.
Pengarang termasuk dalam kategori kaum intelektual organik yang merupakan salah
satu aparat hegemonik. Dengan begitu, segala aktivitas kultural, termasuk
sastra dalam konteks ini, akan bermuara pada satu gagasan tunggal. Sasaran
tersebut adalah penciptaan satu iklim kultural yang tunggal melalui proses yang
rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini, menuntut pemersatu sosial
kultural yang melalui multiplisitas kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan yang
tersebar dan heterogen disatukan. Kegiatan serupa ini merupakan aktivitas
historis yang hanya mungkin dilakukan oleh “ manusia kolektif “ (Faruk,
2003:67).
Teori hegemoni membuka dimensi baru dalam studi
sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata
sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas
sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai sebuah kekuatan sosial,
politik, dan kultural yang berdiri sendiri, mempunyai sistem sendiri, meskipun
tidak terlepas dari infrastrukturnya (Faruk,2003:78).
3.
Sastra dan Hegemoni
Gramsci
Sastra,
bagi Gramsci, adalah karya-karya yang belum selesai. Setiap karya sastra yang
lahir adalah respon terhadap karya sastra terdahulu dan menjadi alternatif yang
akan direspon oleh karya-karya sastra yang akan datang. Gramsci melihat posisi
karya sastra berada dalam sebuah kontinum sejarah yang utuh dan tidak persial.
Gramsci memandang sastra sebagai bagian yang integral dengan sejarah sebuah
komunitas (Anwar, 2010:66).
Gramsci
mengarahkan karya sastra sebagai bagian dari perjuangan sebuah “kebudayaan
baru” yang mengarahkan masyarakat menuju sebuah kehidupan moral baru yang
terkait erat dengan institusi kehidupan baru. Pada konteks tersebut, Gramsci
menyatakan sastra sebagai sebuah cara baru untuk mengalami dan melihat
kenyataan. Orientasi Gramsci tentang sastra adalah mengarahkan sastra pada
organisasi kebudayaan dimana peran sastrawan tidak terlepas dari fungsi
sosialnya untuk mencapai hegemoni budaya baru. Sehingga secara hipotetis,
Gramsci menyatakan bahwa “semakin setia sastra dengan budaya dan sentiment
kebangsaan dalam fase sejarah yang memiliki suatu komunitas, maka akan semakin
populaer karakter sastra tersebut (Anwar, 2010:73).
Bagi
Gramsci, sastra harus dikaitkan dengan tiga aspek yang bersifat dinamik dan
dialektik. Pertama, sastra harus dikaitkan dengan sejarah manusia dan
relasi-relasi sosial yang kongkrit, maka sastra harus bersifat praksis secara
politis (meski bukan berarti politik. Kedua, sastra harus mempunyai otonomi
dalam politik, sebab hakikat karya sastra lahir secara spontan dan tidak dapat
dipaksakan dari pemerintah maupun di luar karya sastra itu sendiri. Ketiga,
karya sastra harus memfasilitasi kekuatan-kekuatan revolusioner yang progresif.
Secara mendasar, Gramsci berpandangan bahwa sastra adalah sebuah proses social
yang bersifat historis, serupa dengan
aktivitas intelektual lainnya yang dapat mempengaruhi dengan cara mempesona
manusia.