Gunawan & Kusumastuti
“Bangun ! imam besar, makmum udah
nunggu nih…” bisikan lembut yang mengikuti kecupan dipipiku itu membuatku tak
bisa menolak untuk membuka mataku yang masih lengket ini. Kulirik jam di
dinding oranye kamar tidur kami dengan seperempat mata terbuka. Pukul tiga
pagi.
“Setengah jam lagi yah Makmum
Cantik, Imam Besar masih ngantuk berat nih…!” kututupkan lagi selimut yang
tersingkap ini ke kepala ku.
“Gak mau, harus bangun sekarang,
ntar kucubit lo!” kali ini rengekan manja ini tak bisa kutolak lagi. Dengan bergaya
sempoyongan ku melangkahkan ke kamar mandi untuk berwudhu. “Eh…selimutnya gak
usah dibawa sayang…!
Pagi ini aku berpura-pura tampak
capek. Setelah tidurku tadi malam “terganggu” untuk shalat malam, disambung
shalat subuh. Dan “terpaksa” membaca satu juz Al-Qur’an agar aku tidak terlelap
lagi. Dengan gaya kuyu aku duduk di depan meja makan menanti sarapan yang
disiapkan istriku. Hari ini aku berangkat pagi. Ada rapat.
“Pagi Kanda…pagi ini Dinda
buatkan sop pavorit Kanda, biar gak ngantuk lagi.” Senyum manis istriku sudah
menyambutku di ruang makan. Aku masih pura-pura sebal. Padahal senyum itulah
yang membuatku tak bisa pergi lama darinya dalam dua tahun terakhir ini.
Aku teringat ketika pertama kali
kami bertemu. Sebenarnya bukan yang pertama, dia adalah teman SMP-ku. Namun
sejak lulus SMP kami tak pernah berjumpa sampai kami bertemu diruang Poliklinik
Umum RS Dr.Sardjito. secara kebetulan, sebuah skenario yang indah dari Sang
Maha Sutradara. Perjumpaan yang akan mengubah jalan cerita hidupku.
Perutku yang melilit-lilit sejak
pagi memaksaku untuk terpaksa menginjakkan ke tempat yang palin aku benci,
rumah sakit. Mungkin karena sehari sebelumnya aku dan teman-teman jurusan mesin
berpesta di rumah salah satu teman yang telah di wisuda. Seperti biasa anak-anak
mesin yang 98,57 persen laki-laki pasti akan melakukan sesuatu yang “radikal”
walau kadang konyol. Sesuatu yang dianggap sebagai permainan untuk membuktikan
“kejantanan” yang kadang tidak jelas parameternya. Kemenanganku di lomba makan
sambal yang mengerikan itu telah mengantarkanku ketempat yang kubenci ini.
Walaupun akhirnya peristiwa itu amat kusyukuri.
Waktu itu aku belum lulus,
walaupun angka sepuluh menempel dengan malu-malu di semester yang sudah aku
tempuh. Biasa anak Mesin memang lambat lulus, begitu biasanya aku berapologi.
Walaupun sebenarnya sudah banyak temanku yang lulus. Termasuk yang menyediakan
“Pesta Sambal” itu.
Ketika aku melangkah masuk
keruang periksa, kulihat senyum yang tidak akan pernah kulupakan. Yanti,
temanku SMP dulu, aku tidak akan lupa. Meskipun kini dia memakai kerudung besar
di kepalanya. Itulah satu-satunya perubahan besar yang tampak padanya.
Sebentar, dia juga bertambah cantik!
“Masya Allah, Tyo ya ?
Assalamualaikum…kena apa ?” kata-kata pertama setelah delapan tahun tak
bertemu. Waktu itu aku tak banyak bicara, keterkejutan dan sesuatu bergemuruh
dihatiku membuatku menjadi pendiam. Bahkan ketika dia mulai “menginterogasi”
gejala sakitku aku hanya menjawab sepotong-sepotong. Padahal biasanya aku
sangat rewel bila diperiksa.
Ketika itu Yanti masih ko-as.
Setelah wisuda menjadi S.Ked. beberapa bulan sebelumnya. Entah mengapa sejak
pertemuan itu, aku selalu jadi ingin bertemu dengannya. Padahal saat itu aku
sudah punya pacar, Kristin.
Ya, saat itu pergaualanku sangat
bebas. Aku tak perduli ketika banyak temanku yang “alim” mempertanyakan
hubunganku dengan Kristin yang Khatolik itu. Waktu itu tak masalah bagiku
pacaran dengan gadis yang berbeda agama. Toh belum tentu menikah.
“Ah, jangan fanatik, dosen kita
aja ada yang istrinya beda agama. Dan mereka oke-oke saja.” Argumen yang selalu
aku pakai untuk menepis suara miring tentang Kristin. Namun akhir-akhir itu
Kristin agak menjauh dariku setelah aku menolak ikut acara natalan bersama
keluarganya. Entahlah walaupun dari sentuhan religius, aku masih merasa perlu
untuk tetap konsisten sebagai orang Islam. Aku pernah dengar ada kiyai yang
melarang umat Islam ikut natalan.
“Wah…males Kris. Lagian aku kan
orang Islam. Aneh kalo ikut natalann nanti dikira murtad aku…”
Kristin yang mulai berlalu dan
perjumpaan yang berkesan di Poliklinik, semakin membuatku mantap untuk
mendekati Yanti. Kupikir ini seperti mengungkapkan cinta yang dulu tak
terungkapkan saat SMP. Dulu aku memang pernah menyukai Yanti ketika SMP. Namun
cinta monyet segera berlalu. Di SMA aku berpacaran dengan Erlin, Julia,
Anna…wah aku memang “buaya”!
Yanti memang tak secantik Kristin
yang aduhai itu. Tapi senyumnya yang ikhlas dan natural tanpa sapuan kosmetik
itu benar-benar membuatku “melayang”. Entahlah seharusnya aku tidak tertarik
pada penampilannya yang “Full Cowled”. Kurasa ada “Something Wrong” pada
hatiku. Biasanya aku hanya mengejar gadis untuk “having fun”. Dan tentu saja
gadis yang bisa diajak “having fun” bukan tipe seperti yanti ini. Aku tahu karakter
orang-orang berkerudung besar seperti Yanti ini. Mereka anti pacaran !
Karena itu aku mencari metoda
pendekatan lain. Kukirim SMS dengan pesan-pesan religius yang kudapat dari
anak-anak SKI dan buku-buku agama. Aku kadang sekedar mampir kerumahnya dengan
berjuta alasan agar bisa bertemu. Mengajak reuni, atau sekedar menanyakan
khabar. Dan tentu saja aku harus tampil dengan penampilan yang menunjang. Harus
tampil religius. Baju koko plus peci pinjaman jadi modal meyakinkan. Itupun aku
tak pernah bisa ngobrol berdua. Yanti selalu mengajak ibunya ikut berbincang.
Wah aku jadi keki. Ilmu “menggombal buaya-ku” tak bisa kupakai! Tapi tetap saja
aku senang. Melihat senyumnya saja membuatku melihat dunia dua kali lebih
indah! Suer!
___
Setelah berjalan sebulan aku
muali yakin bahwa aku jatuh cinta beneran sama Yanti. Kubulatkan tekad untuk
menyatakan hatiku padanya. Dengan segenap pengalamanku sebagai “buaya”, kutulis
sepucuk surat cinta penuh rayuan gombal yang sampai sekarang masih kami simpan
sebagai kenangan. Biasanya kalau aku lagi ngambek, Yanti akan membacakan surat
itu keras-keras. Dan tentu saja itu akan mengakhiri mendung di hatiku.
Kukirim surat itu melalui kurir,
Udin, seorang ko-as teman SMA-ku. Kupesan agar jawabannya kalau bisa segera.
Udin sih oke-oke saja, jajan bakso di Gejayan pasti tidak bisa ditolaknya.
Jantungku berdegup keras ketika
Udin meneleponku dan mengatakan Yanti ingin bertemu di bangsal anak satu jam
lagi. Degg…satu jam yang sangat lama bagiku. Aku terus berdo’a, “Ya Allah
jadikanlah cintaku bersambut cintanya…” ya, kadang-kadang akupun masih ingat
Tuhan , terutama disaat-saat tak ada cara lain didalam benakku selain do’a.
Selasar didepan bangsal anak.
Peristiwa yang sangat berkesan didalam hatiku. Dengan penampilan yang
“meyakinkan”. Baju koko terbaru, dan rambut terpotong rapi, aku melangkah
menemui Yanti yang sudah menunggu. Dia masih menggunakan jas praktikum
putihnya. Senyumnya sudah mengembang melihat kedatanganku, wah prospek cerah
nih !
“Assalamualaikum…sudah baca surat
ku khan ?” sapa ku dengan salam. Sesuatu yang amat jarang aku ucapkan.
“Waalaikumsalam. Sudah. Jadi Tyo
suka sama saya, cinta sama saya ?” suara lembut seperti seorang ibu yang
menghadapi anak nakalnya. “Terus, sekarang Tyo mau apa ?”
“Ya, terus gimana dengan Yanti ?
Yanti terima tidak cinta saya ?” Gleg. Lidahku kelu. Padahal biasanya
menggombal adalah keahlianku. Namun kali ini aku benar-benar kena batunya!
“Tentu saja Yanti terima cinta
Tyo. Terus habis itu gimana ?” masih dengan senyum lembut yang membuatku hampir
tak bisa bicara.
“Ya…terus kita jadian. Kau jadi
pacarku begitu…” jawabku ragu. Ingin kutelan kalimat yang baru saja meluncur
dari mulutku. Mengingat aku tahu karakter orang-orang seperti Yanti yang anti
pacaran.
“Wah, kenapa pacaran ? gimana
kalau kita nikah saja ?”
Deg, aku hanya berdiri kaku.
Menikah ? sebuah tantangan yang baru pertama kali ini ku terima. Hari itu “si
buaya” benar-benar KO! Aku tak habis pikir. Selama karirku menjadi “buaya”, tak
satupun gadis yang berani menantangku untuk menikah. Apalagi saat di “tembak”.
“Me…menikah ? wah, kalau begitu
a…aku pikir-pikir dulu…” pikir-pikir ? sebuah jawaban yang tidak bermutu
setelah pernyataan cinta yang menggebu-gebu. Namun, hanya itulah amunisi
kata-kata yang kupunyai saat itu. Sementara amunisi lain sudah lenyap karena memang
kondisi yang di prediksikan tidak sesuai kenyataan.
Menikah aku harus berani. Tak
peduli apa kata orang. Aku sudah jatuh cinta beneran sama Yanti. Masak “buaya”
takut di tantang menikah. Tetapi kemudian aku teringat dengan cerita-cerita
sumbang tentang pernikahan. Orang yang menikah akan di bebani tanggung jawab.
Harus setia. Harus punya pekerjaan. Harus ini. Harus itu. Nanti kalau punya
anak kan repot. Perlu biaya besar dan segala macam problema rumah tangga yang
kudengar dari mereka yang “berpengalaman” menikah, menghantui pikiranku.
Dan yang jelas setelah menikah
aku tidak bebas lagi. Itulah yang terlintas di benakku. Aku mulai ragu. Apalagi
sehari setelah peristiwa itu, Kristin mengajak baikan. Aku semakin bingung dan
kacau. Disatu sisi jujur kuakui aku sangat takut menikah. Disisi lain aku
benar-benar “terobsesi” pada Yanti. I’m trully, madly, deeply, do love her.
Pusiinggg…aku mulai takut dan kacau. Kuliah yang tinggal mengulang sering
kutinggalkan. Aku lebih sering membaca buku. Di kos, perpus dan bahkan di toko
buku. Temanya tentu saja pernikahan. Namun semua buku itu hanya membuatku
semakin pening. Ada yan bilang menikah disaat kuliah itu sangat mendukung
perkembangan jiwa sesorang. Namun di lain buku ada yang menulis bahwa menikah
diusia muda hanya akan membawa perceraian dan ketidakbahagiaan.
Akhirnya kuputuskan untuk
berpikir sendiri. Sepekan penuh aku berfikir keras. Bahkan laporan praktikum
pun harus menunggu. Kucoba menata satu-persatu masalah dan potensi yang akan
kuhadapi dan aku punyai untuk menikah. Masalah ? tentu saja ada, karena aku
masih kuliah, orang bilang kalau menikah saat kuliah akan berantakan salah
satunya. Ah, itu Cuma kata orang. Yang lain juga bilang kalau menikah di saat
kuliah justru akan membuat kita lebih dewasa.
Kurasa masalah lain yang jauh
lebih besar adalah bahwa aku belum punya penghasilan. Kata orang kalau menikah,
seorang laki-laki harus menafkahi istri dan keluarganya. Wah, bagaimana mau
menafkahi sementara aku belum kerja. Tapi kurasa babe-ku tidak keberatan untuk
melipatduakan dana kiriman bulanan. Selain beliau cukup berada untuk mensuplai
dana buatku, beliau juga pernah berkata bahwa, jika kau menikah dan belum punya
pekerjaan beliau akan membantu.
Setelah sekian waktu berpikir
keras, aku menyerah. Kurasa otak-ku tak kan mampu mengeksekusi sebuah keputusan
untuk menikah atau tidak. Ditengah keputusasaanku aku teringat Udin. Kurasa dia
bisa membantuku untuk memecahkan masalah ini. Aku selalu percaya anak-anak SKI
dan alumninya mempunyai kebijakan yang bisa diandalkan untuk memecahkan
masalah-masalah rumit. Mereka punya intuisi yang menakjubkan untuk menghadapai
masalah yang berat sekalipun. Aku meminta pertimbangan pada Udin yang alim ini.
Udin hanya terwata. “Shalat Istikharah aja, minta petunjuk sama Tuhan.”
Kuputuskan untuk mengikuti saran
Udin. Kuambil air wudhu dengan sempurna dan aku shalat dengan khusyuknya.
Kurasa itu adalah shalat yang paling khusyuk sepanjang hidupku. Kupasrahkan
segalanya pada-Nya. Jikalau Yanti yang terbaik untukku maka kuatkanlah tekadku
untuk menikah dengannya. Jikalau bukan maka, biarkanlah kami menjadi sahabat
yang sejati. Sebuah do’a yang tak pernah keluar dari dalam hatiku sebelumnya.
Namun kini do’a ini amat kusyukuri. Mungkin ini salah satu do’a terbaik
sepanjang hidupku.
Esok pagi aku bangun dengan
cerah. Tekadku bulat. Tuhan dan cintaku akan menguatkan kelemahanku! Akan
kupenuhi tantangan Yanti. Maukah kamu menikah dengan ku ? kalimat itu terus
terucap dihatiku. Kutelepon orang tuaku. Dan mereka memberiku lampu hijau. “yang
penting kamu harus lulus kuliah.” Ya, untungnya orang tuaku permisif untuk
urusan ini. Kebetulan keluarga orang tuaku punya kultur menikah di usia muda,
dan ini kusyukuri sampai saat ini. Tak lupa beliau berdua mengcapkan selamat
atas keberanianku untuk menikah. Selama ini beliau berdua selalu mendesakku
untuk menikah, tapi aku selalu menjawab, “Ntar, kalo udah lulus…”
Kukurim SMS kepada Yanti. Aku
ingin bertemu dengannya di tempat yang sama saat Dia menantangku. Didepan
Bangsal Anak. Kubilang aku ingin menyampaikan sesuatu pernyataan penting.
Walaupun hatiku sudah sangat
mantap, jantungku masih saja berdegup keras. Dihatiku masih berlintasan
berbagai pertanyaan. Bagaimana kalau Dia menolak ? kalau setuju bagaimana nanti
kesiapanku ? Ah, kutepis semua pertanyaan itu. Kalaupun Dia menolak artinya
Tuhan belum menentukan Dia sebagai jodohku. Tentang bagaimana nanti,
kupasrahkan pada Tuhan. Entahlah, aku lebih religius setelah bertemu dengan
Yanti.
Kali ini aku tampil sederhana,
aku pasrah pada Tuhan. Aku merasa ringan dan bersih. Kaos lengan panjang hitam,
celana kargo dan sandal gunung. Sangat berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Aku
ingin tampil apa adanya, inilah aku, dengan segala kekuranganku.
Dan selasar didepan Bangsal Anak
menjadi saksi. Dengan bergetar, Bismillah kukatakan “Yanti mau kah kau menjadi
istriku ?” pernyataan yang terlalu lugas buat seekor “buaya” seperti aku. Namun
saat itu hanya itulah kata-kata yang kumiliki. Sebuah ungkapan terjujur yang
pernah kuungkapkan pada gadis yang kucintai.
“Saya bersedia…menjadi istri Tyo.
Tapi syaratnya…Tyo harus mengaji…” kali ini jawaban Yanti sangat serius. Senyum
yang biasanya menghiasi wajahnya menghilang. Suaranya bergetar terbata-bata,
seperti suaraku saat mengucapkan pernyataan berat itu dengan serak. Mata
indahnya berkaca-kaca.
Dunia seakan lepas dari kaki ku.
Semua beban lenyap tak bersisa. Aku mau teriak pada seluruh dunia sebuah
proklamasi “Aku cinta Yantiiii…” namun kesadaranku masih bersamaku. Aku masih
ingat dimana aku berada. Ku ambil napas panjang, “Alhamdulillah…ya tentu saja
aku mau mengaji…”
Sore itu kutraktir Udin atas
suksesnya lamaranku. “Wheii…Masya Allah. Selamat ya!” Udin menepuk bahuku
dengan bangga. Aku juga bangga dan bahagia.
“Wah kalo begitu nanti, pas
walimahannya aku mau jadi event organizer-nya.” Tawaran yang pasti takkan
kutolak. Setidaknya Udin-lah mak comblangku. Hari ini sekerat ayam goreng
dimulutku terasa sangat enak. Mungkin yang terenak yang pernah kurasakan.
Pagi itu kuterima SMS dari Yanti.
“Ngajinya mulai nanti sore, lho. Nanti jemput Udin di depan parkiran RS jam 4
sore.” Hah? Ngaji sore-sore? Lagian bukannya ngaji bisa sambil nonton teve.
Kayak pengajiannya Aa Gym ? Padahal sore ini aku mau latihan basket. Aku
bingung sesaat, namun demi cinta apapun kan kujalani…huiii gombal !!!
Sore itu kujemput Udin. Kami
melaju menuju tempat yang ditunjukkan Udin. Sebuah rumah kos kecil di Pugong.
Aku heran, tak ada tanda-tanda orang akan pergi mengajike situ.
“Mana pengajiannya, Din ? kok
sepi ?” tanyaku ragu. “Didalam. Dah masuk ajah.”
Ternyata yang disebut pengajian
oleh Yanti, jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan. Sebuah pertemuan kecil.
Lima orang dengan salah satunya menjadi pemateri. Dan semuanya mahasiswa! Tak
ada kiyai yang kubayangkan mengisi pengajian ini. Dan temanya pun sangat
berbeda dengan pengajian yang kukenal. Disini kami juga membahas politik
aktual. Sesuatu yang tabu dibicarakan di pengajian umum.
Aku mudah merasa include dengan
mereka meski semua itu asing bagiku. Dengan segala ke-alim-an, keramahan,
keterbukaan, mereka membuatku yang masih beginner ini, tidak merasa tertinggal
jauh. Tak ada kesan arogan dan merasa lebih senior pada mereka. Walaupun jelas,
aku tidak ada apa-apa nya dibanding mereka. Baik politik, apalagi agama.
Dan saat yang agung dalam hidupku
itu pun tiba. Setelah sebulan sejak aku melamar Yanti, kami menikah. Suasana
yang begitu sakral kurasakan. Setelah ikrar agung itu ku-ucapkan dan Yanti
mencium tangaku pertama kalinya. Tak kuasa kutahan air mata haru dan bahagiaku.
Senyum photogenic-ku berantakan ketika Udin memfoto kami berdua.
“Hoi, jangan nangis, ini kan hari
bahagia.” Udin terus saja menggoda kami.
Ya, sejak saat itulah perjalanan
hidup kami lalui bersama. Aku terus berproses menjadi manusia sejati dengan
dorongan Yanti yang tak pernah putus. Dialah coach dan trainer-ku. Banyak ilmu
agama yang belum kuketahui kudapat darinya. Tak perlu malu atau gengsi. Toh
kenyataanya memanh aku yang harus banyak belajar. Walaupun dia juga sering
kutraining bagaimana merawat mesin motornya dengan baik.
Saat aku malas mengaji, dialah
yang selalu mendorongku. “Bu dokter, hari ini daku absen ngaji ya? Capek nih,
habis nguber-nguber dosen pembimbing…”
“Gak boleh darling calon ST. gak
boleh males ngaji. Inget janji dulu, hayo. Kalo gak ngaji gak ada yang pijitin
nanti malam!” senyum mu memang charger buat semangat ku yang mudah pudar ini.
Kau juga selalu membuatku tak
pernah kehabisan energi untuk menyelesaikan tugas akhirku yang berat. Hingga
wisudaku begitu tak terasa sudah didepan mata. Foto wisuda bersama istri yang
dulu kuanggap khayal terwujud juga! Wah senangnya.
Namun ternyata hidup tidak
berhenti dengan wisudaku sebagai S.T. Dunia kerja ternyata tidak seramah yang
kukira. Berkali-kali aku melamar pekerjaan, berulang-ulang pula aku harus
mengambil kembali lamaranku. Namun Yanti tak pernah merasa lelah untuk
menyemangatiku. Saat ku lelah dialah tempatku bersandar, saat ku patah dialah
yang sembuhkan aku. Diala yang telah membimbingku menjadi manusia sejati.
Dialah anugerah terindah yang pernah kumiliki. Yang menuntunku dari kegelapan
menuju cahaya Illahi.
Sore itu kuketuk pintu rumah
dengan semangat. Kudengar langkahnya tergesa menuju pintu. Pintu terbuka dan
seperti biasa senyumnya menyambutku hangat. Dia baru saja hendak mencium
tanganku sebelem kuraih pinggang nya dan kupeluk dia sambil berputar-putar.
“Eh,eh, apaan nih…turun-turun…”
jeritnya meronta-ronta.
“Gak mau. Gak akan kuturunkan
sampai aku pusing. Aku diterima, honey!” teriakku sambil terus berputar dan
menjatuhkan diri.
“Alhamdulillah…eit, tapi ingat
lima puluh persen dari penghasilan bulanan harus deserahkan pada sang istri.”
Godanya sambil menunjuk hidungku.
“Gak mau, akan ku berikan
semuanya buat kekasihku. Itu lo yang dokter eh insinyur itu. Siapa namanya ?
Emmm… Kristin atau…” kataku sambil memencet hidungnya.
“Apa…dasar buaya jahat…”
“Eh, kok malah senyum-senyum
sendiri? Gak enak ya sopnya?” pelukan hangat istriku membuyarkan lamunan
nostalgiaku.
“Emmm…enak-enak. Cuma lagi
ngelamunin, gimana tampang baby kita kalo udah lahir nanti.”
“Uuu…gombal!” Seperti biasa kalau
gemas, Yanti mencubitku. Aku hanya tertawa.
Sungguh besar pahala bagi mereka
yang menjadi jalan hidayah bagi seseorang. Kukecup kening permataku. Kekasihku,
bidadari tak secantik senyummu. Semoga Allah menetapkan surga untukmu, untuk
semua pengorbanan dan baktimu.
sumber :http://baca-novelnya.blogspot.com
sumber :http://baca-novelnya.blogspot.com