Dimalam yang dingin ini kusapu airmata dengan gurauan seribu bahasa, dihadapanku adalah seseorang yang tiada jarak antaraku dengannya karena dia adalah pemilik semua jarak, saat ini aku tersipu malu olehnya, lantaran segudang amanah dalam genggamku tak mampu aku pikul, saraya aku berkata maaf dengan derasan air mata penyesalan.
Perantauan dengan berjuta harapan
kadang membuat semangatku ter bakar-bakar api kesuksesan. Kamar kecil yang
menjadi tempat curhatku kepada alloh SWT dengan beribu keluhan dan berjuta
harapan, disitulah aku berteduh dipangkuan tuhan, aku rasakan nyaman tiada tara
walau kadang derasan air mataku tak mampu aku tahan. Disanalah tempatku meminta
dan berlindung dari badai cobaan dan godaan iblis dengan kelicikan halusnya
yang kadang ridak sadarkan diri aku telah terjebaknya.
Renungan malam tetap berlanjut
walau kadang singantuk datang menghampiri,
keadaan kamar gelap gulita membuatku merasa ruangan ini adalah alam kubur
tanpa seorangpun yang menemani, dinginnya malam seakan menambah indahnya malam,
keindaham malam itu selalu menggoreskan sejarah berhargaku dengan-Nya
Kini tinggal kenangan dengan
ilustrasi peuh kegirangan. Aku merindukan saat aku dipelukan tuhan dengan
sejuta kasih sayangNya, aku merindukan saat kerinduan dan kecintaanku pada-Nya
melebihi cinta dan kasih sayangku kepada sang pujaan hati, kamar kecilku dulu
adalah saksi bisu keluhanku pada alloh,
Matahari dengan sinarnya yang
dahsyat selalu menerangi kegelapan santri, pagi yang cerah terasa begitu indah.
aku duduk dengan secangkir kopi sambil menikmati hawa mentari, suara burung
berkicauan mengiringiku bersama sahaba-sahabat riydal yang menjadi teman
seperjuanganku disebuah pesantren tercinta. Seorang kiyai laksana matahari yang
selalu memancarkan sinarnya menerangi kegelapan pemikiran santri yang masih
kaku dan beku. Lantunan bait-bait alfiyah yang dibacakan sang kiyayi selalu
menghiasi hari-hariku penuh dengan canda tawa, tak bisa aku ungkapkan betapa
besarnya dan betapa bahagianya hidupku disana, sebuah pesantren yang hanya
menampung laki-laki, sebuah pesantren husus laki-laki telah berhasil mencetak
kader-kader islam yang tidak diragukan lagi kehebatanya secara agamis.
Lantunan bait-bait alfiyyahpun
berlalu, lapar dan dahagaku seakan sirna hanya dengan menelaah goresan-goresan
tinta mutiara yang tersurat dalam sebuah kitab kuning yang menjadi senjata
ampuh, yang menjadi alat pelantara
menimba ilmu dari lautan pengetahuan sana.
Senjapun datang dengan gemuruh
air sungai yang selalu menjadi warna kehidupan disana, sungai dengan airnya tak
pernah berhenti mengalir memberikan kesuburan tanaman-tanaman hijau dedaunan,
tiada hari tanpa arti, semua hari menambah arti namun sayang aku tak bertahan
lama untuk menimba ilmu disana, pamanku yang dulu mengantarku ke pesantren ini
menyuruhku agar segera mendaftarkan diri untuk menduduki sebuah bangku perguruan
tinggi di sebuah kota. Akupun turut setia terhadap saranya, kini aku berada di
sebuah kota dengan kehidupan yang berbeda, aku buka lembaran kehidupan yang
baru, kehidupan yang lama telah aku tutup dan kadang aku buka kembali untuk
menjadi pelajaran di hari yang baru ini, sering sekali aku melambaykan tangan
dengan seribu isarat menyambut masa depan, kadang aku diam seribu bahasa
menghadapi dan mencari arti sebuah kehidupan ini.
Sebuah universitas yang tak
pernah aku duga ternyata kini aku mendudukinya, kehidupan yang beraneka ragam
selalu mewarnai suasana kampus yang katanya berbasis islam, terkadang aku
terharu dengan kebaikan orang tuaku yang rela membanting tulang demi harapan
sang anaknya bisa tercapai. Terkadang aku ngeri dengan situasi dunia yang hanya
selalu mengandalkan teknologi yang masih diragukan keampuhannya sehingga mereka
kadang melupakan penciptanya yang bersedia selamanya mengurus alam ini dengan
geratis.
Dikota setengah ramai ini kadang
sering membuatku lupa terhadap sang maha kuasa raja semua bangsa, raja semua
alam, dialah alloh dengan kasih sayangnya memberikan kenikmatannya pada umat manusia,
namun manusia itu sendiri tidak menyadari betapa sayangnya alloh kepada
makhluknya. Kehidupan ini semata wayang dengan perubahan dan gerak-gerik
ditentukan oleh dalang. Namun alloh bukanlah dalang tapi dia adalah dzat maha
dalang, kasih dan sayangnya takbisa dibayangkan.
Tiga tahun sudah kulewati hidup
bertikar buku, dalam ratap penuh tanda tanya aku merenung menatap langit dengan
bintang-bintang saling menerangi satu sama lain, kedipanya seakan menyaksikan
renunganku, hembusan angin malam yang halus terasa seakan mengelus-elus
perasaanku. Bentengan gedung-gedung pencakar langit dan lampu-lampu dijalanan
terlihat seakan ikut merenung juga. Burung-buru yang biasanya berkicauan tanpa
henti kini tak terdengar lagi seakan mereka terbisu dengan renunganku.
Kuhembuskan nafas dengan asma alloh terasa sejuk dan menggugah keimanan, saat
itu renunganku terhadap alam sekitar berlangsung sampai sang fajar menyambut
dinginya pagi. Tiada satu katapun yang terucap hanya nama-nama alloh yang
selalu membasahi lidah dan tenggorokanku, keindahan yang tak terhingga
kurasakan dunia malam dengan berjuta hiasan di atas sana, semuanya
mengingatkanku kepada sang raja dialah allah pencipta alam semuanya.