Nama lengkapnya Beliau adalah Al-Imam al-Hafizh Syaikhul Islam Muhyiddin Yahya bin Syaraf bin Murry bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum'ah bin Hizam an-Nawawi. Dilahirkan tahun 613 H/ 1233 M di kota Nawa, sebuah desa di
sekitar kota Damaskus Syria. Ia akrab dipanggil Abu Zakariya (bapaknya Zakariya), meskipun ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya dan Ia sendiri tidak menikah selama hayatnya.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliau pun menjadi semakin besar.
Tahun 649 hijri dimulailah rihlah ilmiyah nya ke Damaskus dengan menghadiri kuliah-kuliah ilmiah dengan pembicara para ulama di tersebut. Ia. Ketika itu pencarian ilmu (thalab al-ilm) sebagai kesibukannya yang utama. Imam Nawawi diceritakan menghadiri dua belas mata kuliah dalam sehari. Ia dikenal sebagai pelajar sayang sangat rajin dan sanggup menghafal banyak mata pelajaran dan menjadikannya tampak lebih unggul dari pada teman-temanya. Ia pernah berkata, “Aku menulis semua pelajaran yang aku hadiri, baik tentang penjelasan kalimat yang sulit, ataupun memberi harakat kata-kata. Allah telah memberikan banyak berkah dalam setiap waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab, 5/355]
Ia diberi gelar oleh masyarakat dengan “Muhyiddin” (yang menghidupkan agama),
meskipun ia tidak menyukai gelar ini. Ia sempat melarang orang memanggilnya dengan gelar tersebut.
1. Para Guru Sang Imam
Sang Imam belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin bin Abdul Karim Al- Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fiqih hadits (pemahaman hadits) pada asy-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin usman Al-Maghribi Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta guru-guru lainnya.
Tidak sedikit ulama yang datang untuk belajar ke Iman Nawawi. Diantara mereka adalah al-Khatib Shadruddin Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin al-Arbadi, Shihabuddin bin Ja’wan, Alauddin al-Athar dan yang meriwayatkan hadits darinya Ibnu Abil Fath, Al-Mazi dan lainnya.
2. Kezuhudan Sang Imam
Imam Nawawi adalah seorang yang yang zuhud, wara' dan contoh orang bertakwa. Ia sangat sederhana, qana'ah dan berwibawa Ia menggunakan setaip waktu untuk melakukan taat kepada Allah Swt., dan tidur malamnya digunakan untuk ibadah atau menulis.
Imam Nawawi selalu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang sangat berakhlak sesuai ajaran Islam.
Ketika menulis surat yang berisi nasihat untuk pemerintah, ia menggunakan kalimat yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Zhahir Bebris untuk
menandatangani sebuah fatwa. Datanglah Imam Nawawi yang bertubuh kurus dan pakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: "Tanda tanganilah fatwa ini!!" Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: "Kenapa !?" Beliau menjawab, “Karena jelas sekali kezalimannya.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!”
Para pembantu raja berkata, "Ia tidak punya jabatan sama sekali." Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya,”Kenapa tidak kau bunuh dia padahal sudah bersikap kurang ajar terhadap kepada Tuan?” Sang Raja menjawab, “Demi Allah, aku segan padanya.”
3. Kecintaan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Sang Imam dididik langsung oleh sang ayahnya dengan tekun dengan suasana kondusif, sehingga Nawawi kecil berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh.
Ketika sang ayah menilai lingkungan di Nawa yang sudah yang tidak kondusif lagi untuk proses belajar, ia mengajak anaknya yang saat itu berusia sembilan belas tahun untuk belajar di Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Dalam perjalanan intelektualnya, Nawawi terlihat sangat antusias mempelajari ilmu dan bahkan seluruh hidupnya, akhirnya ia curahkan untuk ilmu pengetahuan. Bahkan di waktu senggangnyapun, ia terus belajar seperti yang diceritakannya, “Aku selalu berdiskusi dengan para guruku. Bahkan guruku sangat memujiku karena aku selalu menyibukan diri dengan belajar dan (aku) tidak pernah bermain (bersenda gurau) dengan teman-teman lainnya.”
4. Pujian Ulama Terhadap Imam Nawawi
An-Nawawi dikenal dengan sikapnya yang wara’ dan zuhud. Adz-Dzahabi pernah berkata: "Beliau adalah profil manusia yang pola hidupnya sangat sederhana dan menjauhi kemewahan. Ia sosok yang bertaqwa, qana'ah, wara', berusaha dekat dengan Allah baik di saat sepi maupun ramai. Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya pakaian sederhana, karpet rumahnya hanyalah kulit.”
Abul Abbas bin Faraj pernah memujinya, “Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih
tiga tingkatan yang mana satu tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Tingkatan ketiga adalah keberaniannya dalam menyuarakan ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar.”
5. Wafatnya Sang Imam
Setelah berziarah ke makam orang tuanya di Palestina dan makam Nabi Ibrahim, ia jatuh sakit keras hingga wafat tahun 24 Rajab tahun 676 H/ 1278 M dalam usia 45 tahun. Usia Imam Nawawi memang tidak panjang, tidak lebih dari 45 tahun, meskipun demikian usia yang tidak panjang itu penuh barakah. Umur yang tidak panjang itu, beliau habiskan untuk ibadah, ketaatan, mengajar dan menulis.
6. Karya-karya Imam Nawawi
Karya Imam Nawawi hampir di semua cabang ilmu, yaitu dalam bidang ilmu fiqh, ushul fiqh, musthalah, bahasa dan bidang ilmu yang lain. Diantara karangan beliau adalah Al-Minhaj fi syarah shahih Muslim, Tahdzibul asma’ wal lughah, Minhaj thalibin, Tashhihul tanbih fi fiqhil asy- syafi’iyah, Taqrib wa tahsin fi mushtalah al- hadits, Riyadhus Shalihin min kalamisayidil mursalin, Raudhatut Thalihin, Al-Minhaj, Mukhtashar Muharrar Fi al-Fiqh, Daqa'iqul Minhaj, Manasik as-Sughra, at-Tibyan Fi Hamalatil Qur'an, Syarh Shahih Muslim, Al-Adzkar, al-Majmu Syarh Muhadzab dan lainnya. Kitab yang paling populer adalah Matan hadist al-Arbain ini.
sekitar kota Damaskus Syria. Ia akrab dipanggil Abu Zakariya (bapaknya Zakariya), meskipun ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya dan Ia sendiri tidak menikah selama hayatnya.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliau pun menjadi semakin besar.
Tahun 649 hijri dimulailah rihlah ilmiyah nya ke Damaskus dengan menghadiri kuliah-kuliah ilmiah dengan pembicara para ulama di tersebut. Ia. Ketika itu pencarian ilmu (thalab al-ilm) sebagai kesibukannya yang utama. Imam Nawawi diceritakan menghadiri dua belas mata kuliah dalam sehari. Ia dikenal sebagai pelajar sayang sangat rajin dan sanggup menghafal banyak mata pelajaran dan menjadikannya tampak lebih unggul dari pada teman-temanya. Ia pernah berkata, “Aku menulis semua pelajaran yang aku hadiri, baik tentang penjelasan kalimat yang sulit, ataupun memberi harakat kata-kata. Allah telah memberikan banyak berkah dalam setiap waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab, 5/355]
Ia diberi gelar oleh masyarakat dengan “Muhyiddin” (yang menghidupkan agama),
meskipun ia tidak menyukai gelar ini. Ia sempat melarang orang memanggilnya dengan gelar tersebut.
1. Para Guru Sang Imam
Sang Imam belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin bin Abdul Karim Al- Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fiqih hadits (pemahaman hadits) pada asy-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin usman Al-Maghribi Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta guru-guru lainnya.
Tidak sedikit ulama yang datang untuk belajar ke Iman Nawawi. Diantara mereka adalah al-Khatib Shadruddin Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin al-Arbadi, Shihabuddin bin Ja’wan, Alauddin al-Athar dan yang meriwayatkan hadits darinya Ibnu Abil Fath, Al-Mazi dan lainnya.
2. Kezuhudan Sang Imam
Imam Nawawi adalah seorang yang yang zuhud, wara' dan contoh orang bertakwa. Ia sangat sederhana, qana'ah dan berwibawa Ia menggunakan setaip waktu untuk melakukan taat kepada Allah Swt., dan tidur malamnya digunakan untuk ibadah atau menulis.
Imam Nawawi selalu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang sangat berakhlak sesuai ajaran Islam.
Ketika menulis surat yang berisi nasihat untuk pemerintah, ia menggunakan kalimat yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Zhahir Bebris untuk
menandatangani sebuah fatwa. Datanglah Imam Nawawi yang bertubuh kurus dan pakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: "Tanda tanganilah fatwa ini!!" Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: "Kenapa !?" Beliau menjawab, “Karena jelas sekali kezalimannya.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!”
Para pembantu raja berkata, "Ia tidak punya jabatan sama sekali." Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya,”Kenapa tidak kau bunuh dia padahal sudah bersikap kurang ajar terhadap kepada Tuan?” Sang Raja menjawab, “Demi Allah, aku segan padanya.”
3. Kecintaan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Sang Imam dididik langsung oleh sang ayahnya dengan tekun dengan suasana kondusif, sehingga Nawawi kecil berhasil menghafal al-Qur-an ketika mendekati usia baligh.
Ketika sang ayah menilai lingkungan di Nawa yang sudah yang tidak kondusif lagi untuk proses belajar, ia mengajak anaknya yang saat itu berusia sembilan belas tahun untuk belajar di Lembaga Pendidikan Rawahiyah. Dalam perjalanan intelektualnya, Nawawi terlihat sangat antusias mempelajari ilmu dan bahkan seluruh hidupnya, akhirnya ia curahkan untuk ilmu pengetahuan. Bahkan di waktu senggangnyapun, ia terus belajar seperti yang diceritakannya, “Aku selalu berdiskusi dengan para guruku. Bahkan guruku sangat memujiku karena aku selalu menyibukan diri dengan belajar dan (aku) tidak pernah bermain (bersenda gurau) dengan teman-teman lainnya.”
4. Pujian Ulama Terhadap Imam Nawawi
An-Nawawi dikenal dengan sikapnya yang wara’ dan zuhud. Adz-Dzahabi pernah berkata: "Beliau adalah profil manusia yang pola hidupnya sangat sederhana dan menjauhi kemewahan. Ia sosok yang bertaqwa, qana'ah, wara', berusaha dekat dengan Allah baik di saat sepi maupun ramai. Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan-minum lezat, dan tampil mentereng. Makanan beliau adalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya pakaian sederhana, karpet rumahnya hanyalah kulit.”
Abul Abbas bin Faraj pernah memujinya, “Syaikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih
tiga tingkatan yang mana satu tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Tingkatan ketiga adalah keberaniannya dalam menyuarakan ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar.”
5. Wafatnya Sang Imam
Setelah berziarah ke makam orang tuanya di Palestina dan makam Nabi Ibrahim, ia jatuh sakit keras hingga wafat tahun 24 Rajab tahun 676 H/ 1278 M dalam usia 45 tahun. Usia Imam Nawawi memang tidak panjang, tidak lebih dari 45 tahun, meskipun demikian usia yang tidak panjang itu penuh barakah. Umur yang tidak panjang itu, beliau habiskan untuk ibadah, ketaatan, mengajar dan menulis.
6. Karya-karya Imam Nawawi
Karya Imam Nawawi hampir di semua cabang ilmu, yaitu dalam bidang ilmu fiqh, ushul fiqh, musthalah, bahasa dan bidang ilmu yang lain. Diantara karangan beliau adalah Al-Minhaj fi syarah shahih Muslim, Tahdzibul asma’ wal lughah, Minhaj thalibin, Tashhihul tanbih fi fiqhil asy- syafi’iyah, Taqrib wa tahsin fi mushtalah al- hadits, Riyadhus Shalihin min kalamisayidil mursalin, Raudhatut Thalihin, Al-Minhaj, Mukhtashar Muharrar Fi al-Fiqh, Daqa'iqul Minhaj, Manasik as-Sughra, at-Tibyan Fi Hamalatil Qur'an, Syarh Shahih Muslim, Al-Adzkar, al-Majmu Syarh Muhadzab dan lainnya. Kitab yang paling populer adalah Matan hadist al-Arbain ini.
No comments:
Post a Comment
Berikanlah komentar terhadap postingan ini tentang keritik atau saran. karena dengan itu kami berharap dapat memperbaiki postingan yang selanjutnya. oleh karena itu komentar anda akan sangat berarti bagi kami. Akhir kata semoga postingan ini bermanfaat bagi anda khususnya, dan umumnya bagi semua orang.
Mohon maaf dari segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam penulisan ini, karena admin adalah seseorang yang masih jauh dari hakikat kebenaran yang sebenarnya.