BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Dalam
rangka memajaukan Pembangunan Nasional khususnya pembangunan di bidang ekonomi
adalah salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan yang adil dan makmur,
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dengan
meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya
dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat
pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan sudah
semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait,
harus mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan
yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang
berkepentingan. suatu jaminan dikatakan
baik apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
·
Jaminan dapat segera, mudah dan cepat membantu mendapatkan kredit oleh
yang memerlukan kredit.
·
Jaminan tidak mengurangi atau melemahkan perbuatan si pencari kredit
dalam melaksanakan tujuannya.
·
Jaminan dapat memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam
arti bahwa barang jaminan tersebut setiap waktu tersedia untuk dieksekusi,
bilamana dapat segera diuangkan dengan cepat dan dapat dipakai untuk melunasi
piutang si pemberi kredit.
Uraian
diatas merupakan prinsip-prinsip atau hal-hal yang harus diketahui oleh semua
pihak yang terlibat dalam suatu pemberian jaminan kredit. Jaminan yang paling
utama dituntut oleh kreditur yaitu jaminan terhadap benda-benda, khususnya
tanah. Di dalam setiap kredit selalu diperlukan jaminan atau tanggungan. Adapun
jaminan yang dapat diberikan dapat berbentuk bendak tidak bergerak (tetap),
misalnya, tanah, rumah, pekarangan, sawah, ladang, tambak dan lain sebagainya.
Yang
dijadikan jaminan disini adalah hak atas tanah, berdasarkan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, dapat dijadikan jaminan atas hutang dengan
dibebani hak tanggungan adalah; Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan.
Adapun fungsi dari hak jaminan ini adalah demi keamanan modal yang diberikan
oleh kreditur kepada debitur. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang
“hak tanggungan dan tanah sebagai jaminan atas hutang”, yang akan dijelaskan
pada bab selanjutnya.
II.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
penjelasan diatas, penulis membuat rumusan masalah yang berkaitan dengan pokok
permasalahan yang akan dibahas kedalam beberapa poin-poin sebagai berikut:
·
Pengertian Hak Tanggungan Atas Tanah (Menurut UU No. 4 Tahun 1996).
·
Dasar Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah (Menurut UU No. 4 Tahun 1996).
·
Asas-Asas Hak Tanggungan Atas Tanah (Menurut UU No. 4 Tahun 1996).
·
Objek dan Subjek Hak Tanggungan Atas Tanah (Menurut UU No. 4 Tahun
1996).
·
Pendaftaran Hak Tanggungan Atas Tanah (Menurut UU No. 4 Tahun 1996).
·
Hapusnya Hak Tanggungan Atas Tanah (Menurut UU No. 4 Tahun 1996).
·
Eksekusi Hak Tanggungan Atas
Tanah (Menurut UU No. 4 Tahun 1996).
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Hak Tanggungan Atas Tanah
Menurut UU No. 4 Tahun 1996
Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah maka ketentuan dalam Buku
Kedua Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata tentang Hipotik
atas Tanah, dalam Staatsblad Tahun 1908 nomor 542 tentang ketentuan
Creditverband dan dalam Pasal 57 UUPA dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketiga
ketentuan itu dicabut karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan
perkreditan di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan tersebut, disebutkan bahwa:[1]
‘Hak
Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lainnya.’
Ada
beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat didalam definisi
tersebut, yaitu:
1.
Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
2.
Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3.
Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang yang merupakan suatu
kesatuan dengan tanah itu.
4.
Hutang yang dijamin harus suatu hutang tertentu.
5.
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain.
Dibandingkan
dengan definisi Hak Tanggungan tersebut dengan definisi hypotheek dalam
KUHPerdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUHPerdata bahwa hipotik
adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil
penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dalam definisi hipotik
tersebut diatas, disebutkan unsur-unsur hipotik sebagai berikut:
1.
Hipotik adalah suatu hak kebendaan.
2.
Objek hipotik adalah benda-benda tak bergerak.
3.
Untuk suatu pelunasan suatu perikatan.
Membandingkan
definisi Hak Tanggungan dengan definisi Hipotik, ternyata pembuat Undang-Undang
Hak Tanggungan lebih baik dalam membuat rumusan Hak Tanggungan dibandingkan
pada pembuatan Undang-Undang KUHPerdata dalam membuat rumusan definisi hipotik,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutan Remi Sjahdeini.[2]
‘Dalam rumusan definisi hipotik banyak
unsur-unsur dan hipotik yang belum dimasukkan, sehingga definisi tersebut masih
jauh untuk dapat gambaran mengenai apa yang dimaksud dengan hipotik. Meskipun rumusan definisi Hak Tanggungan
lebih baik dari pada rumusan definisi Hipotik dalam KUHPerdata, tetapi belum
semua unsur-unsur yang berkaitan dengan hak tanggungan telah dimasukkan dalam
rumusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi hak tanggungan belum
dimasukkan bahwa hak tanggungan adalah suatu hak kebendaan.’
II.
Dasar Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah
Menurut UU No. 4 Tahun 1996
Yang
menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Ada 4
pertimbangan yang menyangkut hal ini, yaitu:
1.
Bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik tolak
berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar,
sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian
hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2.
Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan yang
lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat
dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, belum terbentuk.
3.
Bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur dalam buku
II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai
Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan
Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agararia, masih diberlakukan sementara sampai dengan
terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata
ekonomi Indonesia.
4.
Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang
pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang
telah ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUPA No 5 Tahun 1960, hak
pakai atas tanah tertentu wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.
Bahwa berhubung
dengan hal-hal tersebut diatas, perlu dibentuk undang-undang yang mengatur hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
sebagaimana dimaksud dalam UUPA No 5 Tahun 1960, sekaligus mewujudkan unifikasi
Hukum Tanah Nasional.
Adapun
Pasal-Pasal yang berkaitan dengan Hak Tanggungan atas tanah, ialah:[3]
1.
Pasal 25: ‘hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.’
2.
Pasal 33: ‘hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.’
3.
Pasal 39: ‘hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.’
4.
Pasal 51: ‘hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak
guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur
dengan Undang-Undang.’
5.
Sehubungan dengan ketentuan pasal tersebut, maka Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 yang dalam pasal 4 berbunyi: ‘tanah-tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan
Hak Guna Bangunan, yang telah dibukukan dalam daftar buku tanah menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah dapat dibebani Hak Tanggungan.[4]
III.
Asas-Asas Hak Tanggungan Atas Tanah
Menurut UU No. 4 Tahun 1996
Didalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dikenal beberapa asas Hak Tanggungan, yaitu:
1.
Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak
Tanggungan. (Pasal 1 ayat 1)
2.
Tidak dapat dibagi-bagi. (Pasal 2 ayat 1)
3.
Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada. (Pasal 2 ayat 2)
4.
Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut. (Pasal 4 ayat 4)
5.
Dapat dijadikan jaminan utang yang baru akan ada. (Pasal 3 ayat 1)
Didalam
Hipotek juga dikenal beberapa asas, antara lain sebagai berikut:
1.
Asas publiciteit (openbaarheid), adalah asas yang mengharuskan bahwa
hipotek itu harus didaftarkan didalam register umum, supaya dapat diketahui
oleh pihak ketiga/ umum. Mendaftarkannya ke Seksi Pendaftaran Tanah. Yang
didaftarkan ialah akta dari hipotek tersebut.
2.
Asas specialiteit, adalah asas yang menghendaki bahwa hipotek hanya
dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus. Benda-benda tak
bergerak yang terikat sebagai tanggungan. Misalnya, benda-benda yang
dihipotekkan itu berwujud apa, dimana letaknya, berapa luasnya/ besarnya,
perbatasannya.
3.
Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid), ini berarti bahwa hipotek
itu membebani seluruh objek/ benda yang dihipotekkan dalam keseluruhan atas
setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda tak bergerak. Dengan
dibayarnya sebagian dari utang tidak mengurangi/ meniadakan sebagian dari benda
yang menjadi tanggungan.[5]
IV.
Objek dan Subjek Hak Tanggungan Atas
Tanah Menurut UU No. 4 Tahun 1996
Pada
dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang. Untuk dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, suatu benda
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[6]
1.
Dapat dinilai dengan uang atau bernilai ekonomis. Karena utang yang
dijaminkan berupa uang, maka benda penjamin pelunasan utang tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang.
2.
Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan. Karena apabila debitur cedera
janji benda yang dijadikan jaminan utang tersebut akan dijual dimuka umum untuk
pelunasan utangnya.
3.
Benda mempunyai hak wajib didaftarkan, menurut ketentuan tentang pendaftaran
tanah, untuk memenuhi syarat publisitas.
4.
Menunjukkan benda yang dapat dijamin tersebut,haruslah dengan
penunjukan khusus oleh Undang-undang.
Dalam
pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria yang harus diatur dengan Undang-Undang
adalah Hak Tanggungan atas Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bagunan.[7] Didalam praktik perbankan
dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai sering kali
dijadikan agunan kredit. Bank dan lembaga-lembaga pembiayaan mendasarkan pada
kenyataan bahwa Hak Pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum
(pada Kantor Pertanahan) dan dapat dipindahtangankan. Namun mengingat didalam
UUPA, Hak Pakai tidak disebutkan sebagai hak atas tanah yang dibebani dengan
Hak Tanggungan, bank tidak dapat menguasai tanah Hak Pakai itu sebagai agunan
dengan membebankan Hipotik atau Credietverband. Cara yang dilakukan oleh
bank-bank adalah dengan melakukan pengikatan (Fiducia) atau meminta surat kuasa
menjual dari pemiliknya.[8]
Kebutuhan
praktik menghendaki agar Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hak Tanggungan.
Kebutuhan tersebut ternyata telah diakomodir oleh Undang-Undang Hak Tanggungan.
Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan
Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[9]
Sedangkan
yang dapat menjadi subjek hukum dalam pemasangan Hak Tanggungan adalah sebagai
berikut:
1.
Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan
atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan.
2.
Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari
perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
Biasanya dalam
praktik pemberi Hak Tanggungan disebut dengan debitur, yaitu orang yang
meminjam uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima Hak Tanggungan disebut
dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai
pihak berpiutang.
V.
Pendaftaran Hak Tanggungan Atas Tanah
Menurut UU No. 4 Tahun 1996
Pendaftaran
Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun
1996. Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan.
Secara sistematis, tata cara pendaftaran dikemukakan berikut ini.
1.
Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan.
2.
PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian hak
tanggungan wajib mengirimkan akta PHT dan warkah lainnya kepada kantor BPN.
3.
Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya
dalam buku tanah hak atas yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin
catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4.
Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Jika
hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi
tanggal hari kerja berikutnya.
5.
Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan
dibuatkan (Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1999).
6.
Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat
Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan. Sertifikat Hak Tanggungan diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan.
Jika diperhatikan prosedur pendaftaran di atas, tampaklah bahwa momentum
lahirnya pembebanan Hak Tanggungan atas tanah adalah pada saat hari buku tanah
Hak Tanggungan dibuatkan di Kantor Pertanahan.
VI.
Hapusnya Hak Tanggungan Atas Tanah
Menurut UU No. 4 Tahun 1996
Hapusnya
Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 UU Nomor 4 Tahun
1996. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi
Hak Tanggungan. Ada empat sebab hapusnya Hak Tanggungan, yaitu:
1.
Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
2.
Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.
3.
Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri.
4.
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Walaupun
hak atas tanah itu hapus, namun pemberi hak tanggungan tetap berkewajiban untuk
membayar utangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak
Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada
pemberi Hak Tanggungan.
Setelah
Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud diatas, maka harus dilakukan
pencoretan catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan
sertifikatnya di Kantor Pertanahan (diroya). Dengan hapusnya Hak Tanggungan,
sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan beserta buku tanah Hak
Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.[10]
VII.
Eksekusi Hak Tanggungan Atas Tanah
Menurut UU No. 4 Tahun 1996
Eksekusi
Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 UU Nomor 4 Tahun
1996. Apabila debitur cedera janji, maka:
1.
Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.[11]
2.
Titel eksekutorial yang terdapat pada sertifikat Hak Tanggungan.[12]
Ada
dua macam cara eksekusi objek Hak Tanggungan, yaitu: (1) melalui pelelangan
umum, dan (2) eksekusi di bawah tangan. Pada dasarnya, setiap eksekusi harus
dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat
diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek Hak Tanggungan. Kreditur berhak
mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan.
Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut, yang
setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak
Tanggungan.
Eksekusi
di bawah tangan adalah penjualan barang atau objek Hak Tanggungan yang dilakukan
oleh pemberi Hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang Hak
Tanggungan, jika dengan cara ini diharapkan akan diperoleh harga yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Merujuk
pada pembahasan diatas, penulis dapat membuat kesimpulan dalam beberapa
poin-poin sebagai berikut:
1.
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan
dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lainnya. (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan).
2.
4 pertimbangan yang menjadi dasar hukum Hak Tanggungan, yang
diantaranya adalah: (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
(3) Bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur dalam buku II
KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan (4) Mengenai Hak Milik, Hak
Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek Hak
Tanggungan oleh UUPA No 5 Tahun 1960.
3.
Asas-asas Hak Tanggungan, yaitu: Mempunyai kedudukan yang diutamakan
bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan, tidak dapat dibagi-bagi, hanya
dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada, dapat dibebankan selain tanah
juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut, dapat
dijadikan jaminan utang yang baru akan ada.
4.
Objek Hak Tanggungan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1)
Dapat dinilai dengan uang atau bernilai ekonomis, (2) Mempunyai sifat dapat
dipindahtangankan, (3) Benda mempunyai hak wajib didaftarkan, dan (4) Menunjukkan
benda yang dapat dijamin tersebut. Sedangkan subjek Hak Tanggungan ada 2 macam
yaitu, (1) Pemberi Hak Tanggungan, dan (2) Pemegang Hak Tanggungan.
5.
Tata cara pendaftaran Hak Tanggungan, adalah: (1) Pendaftaran
dilakukan di Kantor Pertanahan, (2) PPAT dalam waktu 7 hari setelah
ditandatangani pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan akta PHT dan warkah
lainnya kepada kantor BPN, (3) Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah Hak
Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas yang menjadi objek Hak
Tanggungan, (4) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh
setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya, (5) Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak
Tanggungan dibuatkan (Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1999), dan (6) Kantor
Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.
6.
Ada 4 sebab hapusnya Hak Tanggungan, yaitu: (1) Hapusnya utang yang
dijamin dengan Hak Tanggungan, (2) Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan, (3) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri, dan (4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
7.
Ada dua macam cara eksekusi
objek Hak Tanggungan, yaitu: (1) Melalui pelelangan umum, dan (2) Eksekusi di
bawah tangan.